Biografi Quraish Shihab
Nama lengkapnya
adalah Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rapang Sulawesi Selatan pada tanggal
16 Februari 1944. Beliau adalah putra keempat dari seorang ulama besar almarhum
Prof. H. Abd. Rahman Shihab, guru besar ilmu tafsir dan mantan Rektor UMI dan
IAIN Alaudin Ujung Pandang, bahkan sebagai pendiri kedua Perguruan Tinggi
tersebut.[1]
Quraish shihab
setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan
pendidikan menengahnya di Malang sambil nyantri di pesantren Dar al-Hadits
al-Fiqhiyah pada 1958. Dia berangkat ke Kairo-Mesir dan diterima di kelas
II Tsanawiyah al-Azhar pasa 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin
jurusan Tafsir Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian melanjutkan pendidikan
Strata 2 (S2) di Fakultas yang sama dan
pada tahun 1969 meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang tafsir
Al-Qur’an dengan Tesis berjudul “Al-‘Jaz al-Tasyri’iy Li Al-Qur’an Al-Karim”.[2]
Sekembalinya ke
Ujung Pandang Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat wakil Rektor bidak
Akademik Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin. Selain itu dia juga diserahi
jabatan-jabatan lain baik di dalam maupun di luar kampus.[3] Tahun
1984 merupakan babak baru karir Quraish Shihab dimulai, saat pindah tugas dari
Ujung Pandang ke IAIN Jakarta. Di sini ia aktif menngajar bidang tafsir dan ‘Ulum
al-Qur’an’ di program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Dia juga mengajar
subjek lain seperti hadits, hanya di program S2 dan S3 saja. Sejak 1998. Selain
menjadi Rektor di IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998),
dia juga dipercaya menjadi menteri agama kurang lebih dua bulan di awal tahun
1998 pada kabinet terakhir pemerintahan Soeharto. Sejak tahun 1999 dia diangkat
menjadi Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk
Negara Republik Arab Mesir dan merangkap negara Djibauti berkedudukan di Kairo
sampai tahun 2002. Sejak itu ia kembali ke tanah air, dan konsen menyelesaikan karya
tafsir 30 Juz “Tafsir al-Misbah”.[4]
Karya-karyanya
Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Quraish Shihab di antaranya:
1.
Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1992.
2.
Studi
Kritis Tafsir al-Manar, Pustaka
Hidayah, 1994.
3.
Wawasan
al-Qur’an, Mizan, Bandung,
1996.
4.
Lentera
Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Mizan,
1994.
5.
Tafsir
al-Qqur’an al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek, Pustaka Hidayah, 1997.
6.
Fatwa-Fatwa
Quraish Shihab sekitar al-Qur’an dan Hadits, Mizan,
1999.
7.
Untaian
Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai, Al-bayan, 1995.
8.
Tafsir
al-Misbah, Lentera Hati.
9.
Yang
Tersembunyi.[5]
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialisasi di
Bidang Tafsir al-Qur’an dan Pemikiran Tafsirnya
1. Kondisi Sosial yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih
Spesialisasi di Bidang Tafsir al-Qur’an
Kondisi yang mempengaruhi Quraish Shihab sehingga beliau memilih
spesialisasi di bidang tafsir al-Qur’an antara lain adalah: Pertama,
kedudukan orang tuanya yang menyertai masa-masa awal kehidupannya, sehingga
menumbuhkan kecintaan sang anak pada kajian al-Qur’an.[6] Kedua,
faktor yang mempengaruhi pemikirannya adalah faktor pendidikan. Disamping orang
tuanya yang ahli tafsir, sebagaimana disebutkan
di atas, faktor pendidikan Shihab juga banyak mempengaruhi terhadap
pemikirannya di bidang tafsir. Setelah beliau mempelajari dasar-dasar agama
dari orang tuanya, Shihab dikirim untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di
Malang sambil “nyantri” di pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, selanjutnya
beliau melanjutkan pendidikan tingginya di Mesir. Ketika di Mesir tepatnya di
Universitas al-Azhar Shihab memasuki fakultas Ushuluddin Strata satu (S1)
Jurusan Tafsir Hadits, selanjutnya Strata dua (S2) dan Strata tiga (S3) juga
beliau selesaikan di Mesir pada Jurusan yang sama.[7]
2. Pemikiran Quraish Shihab di Bidang Tafsir
Dalam Diskursus
‘Ulum al-Qur’an’, tafsir menurut Quraish Shihab berfungsi sebagai anak kunci
untuk membuka khazanah al-Qur’an, yang berarrti sebuah pintu tertutup dan sulit
untuk dibuka tanpa kuncinya. Dengan demikian, alangkah penting dan tingginya
kedudukan tafsir tersebut. Setidaknya ada tiga alas an yang ia kemukakan yang
membuat dan menentukan tingginya (signifikasi) tafsir, yaitu: (1) Bahwa bidang yang
menjadi kajiannya adalah kalam Ilahi yang merupakan sumber segala ilmu
keagamaan dan keutamaan. (2) Tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang
teguh dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati, (3) Dilihat
dari kebutuhan pun sangat nampak bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam
persoalan kehidupan ini ilmu syari’at
dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal ini sangat tergantung pada ilmu
pengetahuan tentang al-Qur’an.[8]
Menyadari begitu
luas makna yang terkandung di dalam al-Qur’an, baik menyangkut makna-makna yang
tersirat di balik yang tersurat, Shihab dengan mengutip pendapat Arqoun pemikir
kontemporer al-Jazair “Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak
terbatas. Kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasannya berada
pada wujud mutlak. Dengan demikian ayat-ayat al-Qur’an selalu terbuka untuk
interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.
Itulah sebabnya, tafsir ulang yang baru dan kontekstual dengan perkembangan zaman
dan masyarakat, menjadi sebuah keniscayaan kalau al-Qur’an ini tak ingin
ditinggalkan ummat Islam atau terkubur oleh proses sejarah yang bergerak cepat.[9]
Sejalan dengan
pendapat Arqoun di atas Shihab mengemukakan empat prinsip di mana ulama-ulama
atau pemikir Islam (mufasir) ketika berhadapan dengan ayat-ayat al-Qur’an tidak
bias dilepaskan dari empat prinsip pokok, yaitu:
Ø Al-Qur’an al-Karim yang pertama kali dikenal oleh masyarakat
manusia 15 abad yang lalu, adalah salah satu dari kitab-kitab suci diturunkan Tuhan
sebagai petunjuk bagi manusia guna member jawaban terhadap
persoalan/perbedaan-perbedaan yang dihadapi mereka, sehingga walaupun terdapat
diantara sekian banyak ayat-ayatnya yang menggambarkan situasi dan kondisi
masyarakat tertentu, atau tidak menghalangi fungsi pokok seperti yang
dinyatakan di atas.
Ø Al-Qur’an baik secara implisit maupun aksplisit, mengakui tentang
kenyataan perubahan sosial, perubahan yang mutlak harus terjadi, cepat atau
lambat, disadari atau tidak, bahkan al-Qur’an menggambarkan bagaimana perubahan
tersebut dapat terjadi, disamping mengisyaratkan bahwa suatu perubahan pada
hakikatnya mengikuti satu pola yang telah menjadi sunnatullah sehingga berlaku
umum.
Ø Al-Qur’an al-Karim dalam sekian banyak ayat-ayatnya mengecam
orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan juga mengecam
orang-orang yang hanya mengikuti tradisi lama tanpa suatu alas an yang logis,
disamping menganjurkan agar pemeluknya berpikir, mengamati, sambil mengambil
pelajaran dari pengalaman generasi-generasi terdahulu.
Ø Perbedaan hasil pemikiran manusia merupakan suatu kenyataan yang
tidak bisa dihindari, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan
atau latar belakang pendidikan seseorang, tapi juga karena pemikiran
dipengaruhi secara sadar atau tidak oleh peristiwa-peristiwa sejarah, politik,
pemikiran orang lain yang berkembang serta kondisi masyarakatnya.
Sejalan dengan empat pemikiran di atas ada tiga masalah penting
yang disebabkan oleh akibat perubahan sosial yang harus menjadi perhatian
mufasir, yaitu bahasa, ilmu pengetahuan dan metode. Sudah menjadi kesepakatan
mufasir bahwa bahasa Arab merupakan faktor penting untuk bisa memahami
kandungan al-Qur’an, namun penting juga memperhatikan perkembangan bahasa itu
sendiri, karena disadari bila kita mendengar suatu kata yang tergambar dalam
benak kita adalah gambaran material menyangkut kata tersebut, namun di lain segi
bentuk material tersebut dapat mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan
masyarakat. Misalnya dapat kita ambil contoh, kata الذرة pada masa turunnya al-Qur’an maknanya
berkisar pada semut/kepala semut, debu-debu yang beterbangan dan lain-lain, sedang
kini ia memiliki arti tambahan yang tadinya belum dikenal yaitu atom.
Kedua adalah ilmu pengetahuan. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang
tidak lepas dari keaneka ragaman corak, metode dan hasil penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an juga tidak dapat dihindari antara lain karena kemajuan ilmu
pengetahuan, dari sini dapat dipahami bahwa penafsiran para ulama terdahulu
tidak mengikat penafsir-penafsir masa kini atau masa yang akan datang.
Ketiga adalah metode. Setiap mufasir mempunyai metode masing-masing
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan mufasir lainnya.
Selama ini sebagaiman disebutkan oleh al-Farmawi metode tafsir yang berkembang
ada empat macam: Tahlili, Ijmali, Muqarin dan Maudlh’i. Dari masing
–masing metode tersebut terdapat kekurangan dan keistimewaan masing-masing.[10]
2.3 Metode Maudlu’i dan Corak Tafsir Quraish Shihab dalam Buku
Wawasan al-Qur’an
Menurut Jurnal
yang ditulis oleh H. Endad Musyaddad tentang Metode dan Corak Tafsir Quraish
Shihab, yang beliau tulis setelah menganalisa buku Wawasan Al-Qur’an. Beliau
menyimpulkan bahwa buku tersebut menggunakan metode tafsir maudlu’i. Bila kita
berbicara metode maudlu’i, setidaknya ada dua macam bentuk, yaitu: Bentuk
pertama menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada
ayat-ayat al-Qur’an yang terangkum pada satu surat saja. Missalnya pesan-pesan
yang terdapat pada surat al-Baqarah, Ali Imran, Yasin dan sebagainya. Bentuk
penyajian kedua dari metode ini aadalah penafsiran sejumlah ayat al-Qur’an
al-Karim, yang membicarakan satu judul/topik yang sama diletakkan di bawah
suatu judul yang satu denga dijelaskan tafsirnya dari segala segi secara topikal/sektoral.
Kaitannya dengan pembahasan buku Wawasan Al-Qur’an, nampak jelas bahwa Quraish
Shihab sebagaimana dikatakannya sendiri beliau menggunakan metode maudlu’i
dengan bentuk yang kedua (tidak terpaku pada satu surat).[11]
Disamping itu
penulis dalam mengemukakan uraian-uraiannya, amat memperhatikan arti kosa kata
atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar-pakar bahasa,
kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan
al-Qur’an, lalu memahami arti ayat atas dasar penggunaan kata tersebut oleh
al-Qur’an.[12]
Selanjutnya
beralih pada sistematika tafsir dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Karena tafsir ini
bertolak dari metode maudlu’i, maka sistematika penafsirannya pun harus
mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh mereka yang menggunakan
metode ini, antara lain adalah:
a.
Mencari
maudlu/judul/topik al-Qur’an yang hendak dibahas.
b.
Mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan judul/topik tersebut.
c.
Menertibkan
urutan-urutan ayat tersebut sesuai dengan tertib turunnya, makiyah dan
madaniyahnya sesuai dengan sebab turunnya.
d.
Menjelaskan
munasabah (persesuaian) antara ayat yang satu dengan ayat lainnya dan antara
surat yang satu dengan surat lainnya.
e.
Berusaha
menyempurnakan perubahan judul/topik tersebut dengan dibagi dalam beberapa
bagian yang berhubungan bagian satu dengan bagian lainnya.
f.
Melengkapi
penjelasan ayat dengan hadits-hadits Nabi, riwayat sahabat, dan lain-lain
sehingga menjadi jelas dan gamblang.
g.
Mempelajari
ayat-ayat yang satu judul/topik itu secara sektoral dengan menyesuaikan antara
yang umum dan yang khusus, yang mutlak dengan yang muqayyad,
yang global dengan yang terperinci dan memadukan antara ayat-ayat
yang kelihatannya bertentangan satu sama lain serta menentukan mana yang naskh
dan mansukh, sehingga nash-nash mengenai yang satu judul/topik
dengan yang lainnya. Demikian dikemukakan al-Farmawi sebagaimana dikutip Abdul
Djalal.
Berdasarkan telaah dari buku Wawasan Al-Qur’an, maka ketujuh
langkah tersebut secara apik dilakukan Quraish Shihab ketika menjelaskan
persoalan-persoalan yang menjadi pokok bahasan tafsirnya.[13]
Sebagai contoh, ketika ia berbicara tentang Ahlu Kitab.
Sebelum menguraikan tentang persoalan Ahlu Kitab, Shihab terlebih dahulu
memberikan pengantar tentang penggunaan metode maudlu’i. Contoh soal
misalnya untuk Yahudi dan Nashrani dua kelompok yang disepakati oleh seluruh
ulama sebagai Ahlu Kitab. Selain istilah Ahlu Kitab al-Qur’an
juga menggunakan istilah Utu al-Kitab, Utu Nasiban minal Kitab, Al-Yahudi,
Alladzina Hadu, Bani Israil, Al-Nashara, dan istilah lainnya. Dari
beberapa istilah tersebut sekanjutnya Shihab menganalisis satu persatu istilah
tersebut, tentu saja melalui kajian al-Qur’an. Misalnya untuk kata Ahlu
Kitab, al-Qur’an menyebutnya sebanyak 31 kali, Utu al-Kitab sebanyak
18 kali, Alladzina Hadu sebanyak 10 kali, Al-Nashara sebanyak 14
kali dan Bani Israil sebanyak 41 kali. Dari istilah-istilah tersebut
nampaknya mempunyai kesan yang berbeda-beda, misalnya ketika al-Qur’an
menggunakan kata Al-Yahud, maka isinya adalah kecaman atau gambaran
negatife tentang mereka. Ini bisa dilihat pada QS. Al-Maidah: 82, Al-Maidah:
18. Sebaliknya bila al-Qur’an menggunakan kata Alladzina Hadu, maka
kandungannya ada yang berupa kecaman, misal terlihat pada QS. Al-Nisa: 46. Juga
ada yang bersifat netral, missal pada QS. Al-Baqarah: 62.[14]
Selesai mengannalisa persoalan istilah menyangkut Yahudi dan
Nashrani, Shihab berpindah pada kajian tafsir dan sikap Ahli Kitab, apakah Ahli
Kitab semua sama, bagaimana harusnya sikap terhadap Ahlu Kitab, Ahlu Kitab pada
masa turunnya al-Qur’an, mengapa ada kecaman terhadap Ahlu Kitab, siapa yang
disebut Ahlu Kitab. Dari ayat-ayat yang sama dalam satu tema kemudian Shihab
mengambil intisarinya. Di akhir uraian Shihab tak lupa memberikan kesimpulan
terhadap ayat-ayat yang menjadi pokok bahasan.[15]
Selanjutnya beralih pada corak penafsiran Shihab dalam buku Wawasan
Al-Qur’an. Bila kita perhatikan alur pemikiran Shihab dalam bukunya, maka
secara sekilas sudah Nampak bahwa aspek bahasa lebih menonjol dalam
penafsirannya. Selain itu mengompromikan penafsirannya dengan temuan-temuan
ilmu pengetahuan/hasil-hasil penemuan yang telah mapan. Hal itu terlihat
misalnya ketika membicarakan masalah “lailatul qadr”. Dari segi bahasa
misalnya menjelaskan makna ayat mayyudrika dengan kalimat ma adraka
juga analisis bahasa dari kata qadr itu sendiri. Analisis bahasa bagi
penafsir dengan metode maudlu’i adalah suatu keharusan. Mufasir dituntut untuk
menjelaskan kalimat yang sama pada ayat-ayat yang berbeda sesuai dengan konteks
masing-masing. Sehingga kata qadr sendiri antara lain mencakup tiga makna di
dalamnya: Penetapan, Kemuliaan, dan Sempit.[16]
Menurut
penulis Jurnal ini, disamping corak bahasa (linguistik) juga terdapat
kecenderungan (corak) teologis yang begitu kuat yang ditekankan Shihab.
Sebagaimana uraian tentang takdir, Shihab berusaha memahami masalah taqdir
berdasarkan al-Qur’an, karenanya ia tidak mempersoalkan apakah taqdir itu
termasuk rukun iman (sebagaimana dipahami kaum Sunni), atau tidak termasuk
rukun iman (menurut sebagian kalangan). Demikian beberapa bahasan berkaitan
dengan metode, dan corak tafsir Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat.
[1]
Prof. Dr. Fauzul Iman, MA., dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan dan
Kemasyarakatan, Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2004, Vol.
21, hal. 56.
[2]
Ibid, hal. 57
[3]
Ibid,
[4]
Ibid,
[5]
Ibid, hal. 58
[6]
Ibid,
[7]
Ibid, hal. 59.
[8]
Ibid, hal. 60
[9]
Ibid, hal. 60-61.
[10]
Ibid, hal. 61-63
[11]
Prof. Dr. Fauzul Iman, MA., dkk, Op. Cit., hal. 64-65.
[12]
Ibid, hal. 65.
[13]
Ibid, hal. 65-66.
[14]
Ibid, hal. 66-68.
[15]
Hal. 68.
[16]
Hal. 69-70