Rabu, 20 Maret 2013



Biografi Quraish Shihab
            Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rapang Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Beliau adalah putra keempat dari seorang ulama besar almarhum Prof. H. Abd. Rahman Shihab, guru besar ilmu tafsir dan mantan Rektor UMI dan IAIN Alaudin Ujung Pandang, bahkan sebagai pendiri kedua Perguruan Tinggi tersebut.[1]
            Quraish shihab setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang sambil nyantri di pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah pada 1958. Dia berangkat ke Kairo-Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar pasa 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di Fakultas yang sama dan  pada tahun 1969 meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur’an dengan Tesis berjudul “Al-‘Jaz al-Tasyri’iy Li Al-Qur’an Al-Karim”.[2]
            Sekembalinya ke Ujung Pandang Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat wakil Rektor bidak Akademik Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin. Selain itu dia juga diserahi jabatan-jabatan lain baik di dalam maupun di luar kampus.[3] Tahun 1984 merupakan babak baru karir Quraish Shihab dimulai, saat pindah tugas dari Ujung Pandang ke IAIN Jakarta. Di sini ia aktif menngajar bidang tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an’ di program S1, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Dia juga mengajar subjek lain seperti hadits, hanya di program S2 dan S3 saja. Sejak 1998. Selain menjadi Rektor di IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998), dia juga dipercaya menjadi menteri agama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998 pada kabinet terakhir pemerintahan Soeharto. Sejak tahun 1999 dia diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk Negara Republik Arab Mesir dan merangkap negara Djibauti berkedudukan di Kairo sampai tahun 2002. Sejak itu ia kembali ke tanah air, dan konsen menyelesaikan karya tafsir 30 Juz “Tafsir al-Misbah”.[4]

Karya-karyanya
Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Quraish Shihab di antaranya:
1.      Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1992.
2.      Studi Kritis Tafsir al-Manar, Pustaka Hidayah, 1994.
3.      Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1996.
4.      Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Mizan, 1994.
5.      Tafsir al-Qqur’an al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek, Pustaka Hidayah, 1997.
6.      Fatwa-Fatwa Quraish Shihab sekitar al-Qur’an dan Hadits, Mizan, 1999.
7.      Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai, Al-bayan, 1995.
8.      Tafsir al-Misbah, Lentera Hati.
9.      Yang Tersembunyi.[5]



2.2 Faktor yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialisasi di Bidang Tafsir al-Qur’an dan Pemikiran Tafsirnya
1. Kondisi Sosial yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialisasi di Bidang Tafsir al-Qur’an
Kondisi yang mempengaruhi Quraish Shihab sehingga beliau memilih spesialisasi di bidang tafsir al-Qur’an antara lain adalah: Pertama, kedudukan orang tuanya yang menyertai masa-masa awal kehidupannya, sehingga menumbuhkan kecintaan sang anak pada kajian al-Qur’an.[6] Kedua, faktor yang mempengaruhi pemikirannya adalah faktor pendidikan. Disamping orang tuanya yang ahli tafsir, sebagaimana disebutkan  di atas, faktor pendidikan Shihab juga banyak mempengaruhi terhadap pemikirannya di bidang tafsir. Setelah beliau mempelajari dasar-dasar agama dari orang tuanya, Shihab dikirim untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang sambil “nyantri” di pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, selanjutnya beliau melanjutkan pendidikan tingginya di Mesir. Ketika di Mesir tepatnya di Universitas al-Azhar Shihab memasuki fakultas Ushuluddin Strata satu (S1) Jurusan Tafsir Hadits, selanjutnya Strata dua (S2) dan Strata tiga (S3) juga beliau selesaikan di Mesir pada Jurusan yang sama.[7]

2. Pemikiran Quraish Shihab di Bidang Tafsir
            Dalam Diskursus ‘Ulum al-Qur’an’, tafsir menurut Quraish Shihab berfungsi sebagai anak kunci untuk membuka khazanah al-Qur’an, yang berarrti sebuah pintu tertutup dan sulit untuk dibuka tanpa kuncinya. Dengan demikian, alangkah penting dan tingginya kedudukan tafsir tersebut. Setidaknya ada tiga alas an yang ia kemukakan yang membuat dan menentukan tingginya (signifikasi) tafsir, yaitu: (1) Bahwa bidang yang menjadi kajiannya adalah kalam Ilahi yang merupakan sumber segala ilmu keagamaan dan keutamaan. (2) Tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati, (3) Dilihat dari kebutuhan pun sangat nampak bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan kehidupan  ini ilmu syari’at dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal ini sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an.[8]
            Menyadari begitu luas makna yang terkandung di dalam al-Qur’an, baik menyangkut makna-makna yang tersirat di balik yang tersurat, Shihab dengan mengutip pendapat Arqoun pemikir kontemporer al-Jazair “Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasannya berada pada wujud mutlak. Dengan demikian ayat-ayat al-Qur’an selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”. Itulah sebabnya, tafsir ulang yang baru dan kontekstual dengan perkembangan zaman dan masyarakat, menjadi sebuah keniscayaan kalau al-Qur’an ini tak ingin ditinggalkan ummat Islam atau terkubur oleh proses sejarah yang bergerak cepat.[9]
            Sejalan dengan pendapat Arqoun di atas Shihab mengemukakan empat prinsip di mana ulama-ulama atau pemikir Islam (mufasir) ketika berhadapan dengan ayat-ayat al-Qur’an tidak bias dilepaskan dari empat prinsip pokok, yaitu:
Ø  Al-Qur’an al-Karim yang pertama kali dikenal oleh masyarakat manusia 15 abad yang lalu, adalah salah satu dari kitab-kitab suci diturunkan Tuhan sebagai petunjuk bagi manusia guna member jawaban terhadap persoalan/perbedaan-perbedaan yang dihadapi mereka, sehingga walaupun terdapat diantara sekian banyak ayat-ayatnya yang menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat tertentu, atau tidak menghalangi fungsi pokok seperti yang dinyatakan di atas.
Ø  Al-Qur’an baik secara implisit maupun aksplisit, mengakui tentang kenyataan perubahan sosial, perubahan yang mutlak harus terjadi, cepat atau lambat, disadari atau tidak, bahkan al-Qur’an menggambarkan bagaimana perubahan tersebut dapat terjadi, disamping mengisyaratkan bahwa suatu perubahan pada hakikatnya mengikuti satu pola yang telah menjadi sunnatullah sehingga berlaku umum.
Ø  Al-Qur’an al-Karim dalam sekian banyak ayat-ayatnya mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan juga mengecam orang-orang yang hanya mengikuti tradisi lama tanpa suatu alas an yang logis, disamping menganjurkan agar pemeluknya berpikir, mengamati, sambil mengambil pelajaran dari pengalaman generasi-generasi terdahulu.
Ø  Perbedaan hasil pemikiran manusia merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan atau latar belakang pendidikan seseorang, tapi juga karena pemikiran dipengaruhi secara sadar atau tidak oleh peristiwa-peristiwa sejarah, politik, pemikiran orang lain yang berkembang serta kondisi masyarakatnya.
Sejalan dengan empat pemikiran di atas ada tiga masalah penting yang disebabkan oleh akibat perubahan sosial yang harus menjadi perhatian mufasir, yaitu bahasa, ilmu pengetahuan dan metode. Sudah menjadi kesepakatan mufasir bahwa bahasa Arab merupakan faktor penting untuk bisa memahami kandungan al-Qur’an, namun penting juga memperhatikan perkembangan bahasa itu sendiri, karena disadari bila kita mendengar suatu kata yang tergambar dalam benak kita adalah gambaran material menyangkut kata tersebut, namun di lain segi bentuk material tersebut dapat mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan masyarakat. Misalnya dapat kita ambil contoh, kata الذرة pada masa turunnya al-Qur’an maknanya berkisar pada semut/kepala semut, debu-debu yang beterbangan dan lain-lain, sedang kini ia memiliki arti tambahan yang tadinya belum dikenal yaitu atom.
Kedua adalah ilmu pengetahuan. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak lepas dari keaneka ragaman corak, metode dan hasil penafsiran ayat-ayat al-Qur’an juga tidak dapat dihindari antara lain karena kemajuan ilmu pengetahuan, dari sini dapat dipahami bahwa penafsiran para ulama terdahulu tidak mengikat penafsir-penafsir masa kini atau masa yang akan datang.
Ketiga adalah metode. Setiap mufasir mempunyai metode masing-masing dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan mufasir lainnya. Selama ini sebagaiman disebutkan oleh al-Farmawi metode tafsir yang berkembang ada empat macam: Tahlili, Ijmali, Muqarin dan Maudlh’i. Dari masing –masing metode tersebut terdapat kekurangan dan keistimewaan masing-masing.[10]

2.3 Metode Maudlu’i dan Corak Tafsir Quraish Shihab dalam Buku Wawasan al-Qur’an
            Menurut Jurnal yang ditulis oleh H. Endad Musyaddad tentang Metode dan Corak Tafsir Quraish Shihab, yang beliau tulis setelah menganalisa buku Wawasan Al-Qur’an. Beliau menyimpulkan bahwa buku tersebut menggunakan metode tafsir maudlu’i. Bila kita berbicara metode maudlu’i, setidaknya ada dua macam bentuk, yaitu: Bentuk pertama menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat al-Qur’an yang terangkum pada satu surat saja. Missalnya pesan-pesan yang terdapat pada surat al-Baqarah, Ali Imran, Yasin dan sebagainya. Bentuk penyajian kedua dari metode ini aadalah penafsiran sejumlah ayat al-Qur’an al-Karim, yang membicarakan satu judul/topik yang sama diletakkan di bawah suatu judul yang satu denga dijelaskan tafsirnya dari segala segi secara topikal/sektoral. Kaitannya dengan pembahasan buku Wawasan Al-Qur’an, nampak jelas bahwa Quraish Shihab sebagaimana dikatakannya sendiri beliau menggunakan metode maudlu’i dengan bentuk yang kedua (tidak terpaku pada satu surat).[11]
            Disamping itu penulis dalam mengemukakan uraian-uraiannya, amat memperhatikan arti kosa kata atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar-pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an, lalu memahami arti ayat atas dasar penggunaan kata tersebut oleh al-Qur’an.[12]
            Selanjutnya beralih pada sistematika tafsir dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Karena tafsir ini bertolak dari metode maudlu’i, maka sistematika penafsirannya pun harus mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh mereka yang menggunakan metode ini, antara lain adalah:
a.       Mencari maudlu/judul/topik al-Qur’an yang hendak dibahas.
b.      Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan judul/topik tersebut.
c.       Menertibkan urutan-urutan ayat tersebut sesuai dengan tertib turunnya, makiyah dan madaniyahnya sesuai dengan sebab turunnya.
d.      Menjelaskan munasabah (persesuaian) antara ayat yang satu dengan ayat lainnya dan antara surat yang satu dengan surat lainnya.
e.       Berusaha menyempurnakan perubahan judul/topik tersebut dengan dibagi dalam beberapa bagian yang berhubungan bagian satu dengan bagian lainnya.
f.       Melengkapi penjelasan ayat dengan hadits-hadits Nabi, riwayat sahabat, dan lain-lain sehingga menjadi jelas dan gamblang.
g.      Mempelajari ayat-ayat yang satu judul/topik itu secara sektoral dengan menyesuaikan antara yang umum dan yang khusus, yang mutlak dengan yang muqayyad, yang global dengan yang terperinci dan memadukan antara ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan satu sama lain serta menentukan mana yang naskh dan mansukh, sehingga nash-nash mengenai yang satu judul/topik dengan yang lainnya. Demikian dikemukakan al-Farmawi sebagaimana dikutip Abdul Djalal.
Berdasarkan telaah dari buku Wawasan Al-Qur’an, maka ketujuh langkah tersebut secara apik dilakukan Quraish Shihab ketika menjelaskan persoalan-persoalan yang menjadi pokok bahasan tafsirnya.[13]
Sebagai contoh, ketika ia berbicara tentang Ahlu Kitab. Sebelum menguraikan tentang persoalan Ahlu Kitab, Shihab terlebih dahulu memberikan pengantar tentang penggunaan metode maudlu’i. Contoh soal misalnya untuk Yahudi dan Nashrani dua kelompok yang disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahlu Kitab. Selain istilah Ahlu Kitab al-Qur’an juga menggunakan istilah Utu al-Kitab, Utu Nasiban minal Kitab, Al-Yahudi, Alladzina Hadu, Bani Israil, Al-Nashara, dan istilah lainnya. Dari beberapa istilah tersebut sekanjutnya Shihab menganalisis satu persatu istilah tersebut, tentu saja melalui kajian al-Qur’an. Misalnya untuk kata Ahlu Kitab, al-Qur’an menyebutnya sebanyak 31 kali, Utu al-Kitab sebanyak 18 kali, Alladzina Hadu sebanyak 10 kali, Al-Nashara sebanyak 14 kali dan Bani Israil sebanyak 41 kali. Dari istilah-istilah tersebut nampaknya mempunyai kesan yang berbeda-beda, misalnya ketika al-Qur’an menggunakan kata Al-Yahud, maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatife tentang mereka. Ini bisa dilihat pada QS. Al-Maidah: 82, Al-Maidah: 18. Sebaliknya bila al-Qur’an menggunakan kata Alladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misal terlihat pada QS. Al-Nisa: 46. Juga ada yang bersifat netral, missal pada QS. Al-Baqarah: 62.[14]
Selesai mengannalisa persoalan istilah menyangkut Yahudi dan Nashrani, Shihab berpindah pada kajian tafsir dan sikap Ahli Kitab, apakah Ahli Kitab semua sama, bagaimana harusnya sikap terhadap Ahlu Kitab, Ahlu Kitab pada masa turunnya al-Qur’an, mengapa ada kecaman terhadap Ahlu Kitab, siapa yang disebut Ahlu Kitab. Dari ayat-ayat yang sama dalam satu tema kemudian Shihab mengambil intisarinya. Di akhir uraian Shihab tak lupa memberikan kesimpulan terhadap ayat-ayat yang menjadi pokok bahasan.[15]
Selanjutnya beralih pada corak penafsiran Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Bila kita perhatikan alur pemikiran Shihab dalam bukunya, maka secara sekilas sudah Nampak bahwa aspek bahasa lebih menonjol dalam penafsirannya. Selain itu mengompromikan penafsirannya dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan/hasil-hasil penemuan yang telah mapan. Hal itu terlihat misalnya ketika membicarakan masalah “lailatul qadr”. Dari segi bahasa misalnya menjelaskan makna ayat mayyudrika dengan kalimat ma adraka juga analisis bahasa dari kata qadr itu sendiri. Analisis bahasa bagi penafsir dengan metode maudlu’i adalah suatu keharusan. Mufasir dituntut untuk menjelaskan kalimat yang sama pada ayat-ayat yang berbeda sesuai dengan konteks masing-masing. Sehingga kata qadr sendiri antara lain mencakup tiga makna di dalamnya: Penetapan, Kemuliaan, dan Sempit.[16]
Menurut penulis Jurnal ini, disamping corak bahasa (linguistik) juga terdapat kecenderungan (corak) teologis yang begitu kuat yang ditekankan Shihab. Sebagaimana uraian tentang takdir, Shihab berusaha memahami masalah taqdir berdasarkan al-Qur’an, karenanya ia tidak mempersoalkan apakah taqdir itu termasuk rukun iman (sebagaimana dipahami kaum Sunni), atau tidak termasuk rukun iman (menurut sebagian kalangan). Demikian beberapa bahasan berkaitan dengan metode, dan corak tafsir Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat.













[1] Prof. Dr. Fauzul Iman, MA., dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan dan Kemasyarakatan, Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2004, Vol. 21, hal.  56.
[2] Ibid, hal. 57
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid, hal. 58
[6] Ibid,
[7] Ibid, hal. 59.
[8] Ibid, hal. 60
[9] Ibid, hal. 60-61.
[10] Ibid, hal. 61-63
[11] Prof. Dr. Fauzul Iman, MA., dkk, Op. Cit., hal. 64-65.
[12] Ibid, hal. 65.
[13] Ibid, hal. 65-66.
[14] Ibid, hal. 66-68.
[15] Hal. 68.
[16] Hal. 69-70